Beranda | Artikel
Menyatukan Hari Raya
Jumat, 14 Desember 2007

MENYATUKAN HARI RAYA

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc

Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik hari raya Idul Fithri maupun hari raya Idul Adha menjadi sebuah fenomena yang seringkali terjadi di kalangan kaum muslimin seakan-akan makna “al-Id” yang seharusnya sesuatu yang berulang dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah menjadi sebuah permasalahan yang berulang-ulang tiap tahunnya dengan perselisihan dan pertengkaran.

Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan lain kecuali beramal di atas bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju keridhaan Allah. Maka dalam pembahasan masalah ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang sebab terjadinya perselisihan, dan kita yang tepat dalam bersikap, sehingga kita terlepas dari jeratan pertikaian dan termasuk orang yang berpegang teguh dengan tali Allah. Semoga Allah memberi taufiq kebenaran kepada penulis, sehingga dijauhkan dari kesalahan dalam penulisan dan pemahaman.

MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA?
Perselisihan ini, tidak hanya terjadi di kalangan para ulama sebelumnya dalam permasalahan ijtihad, akan tetapi diperparah lagi dengan masuknya orang-orang yang tidak mengetahui agama (munafik) atau orang yang cenderung mengikuti akalnya sendiri[1], masuk ke dalam kancah permasalahan ini sehingga semakin memperkeruh masalah.

Perselisihan yang terjadi dalam menentukan ke dua hari raya ini, dapat kita bagi dalam beberapa permasalahan:

  1. Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan hisab ataukah ru’yah hilal.
  2. Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla’ hilal pada setiap negeri atau tidak. Dalam arti, jika misalnya terlihat hilal di Arab Saudi, wajibkah semua umat Islam untuk berpuasa atau berbuka? Ataukah setiap negeri berhukum dengan mathla’ nya sendiri-sendiri?
  3. Mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan jatuhnya hari raya. Sebagian yang tidak sependapat dengan pemerintah mengambil tindakan yang dianggapnya benar. Dan sebagian lagi, dalam melihat ru’yah hilal, berkiblat kepada negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadilan kekacauan dan perselisihan di mana-mana.

RU’YAH ATAU HISAB?
Ada dua catatan penting menanggapi permasalahan di atas.

1. Menggunakan hisab untuk membuat sebuah hukum dalam syari’at dan meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kebenaran, dan juga jatuh ke dalam takwil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umat Islam akan mengikuti perjalanan umat terdahulu (tasyabbuh), baik secara disengaja ataupun tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berkata : “Telah sampai kepada saya, bahwa syari’at sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilal. Kemudian terjadi perubahan karena ulah tangan-tangan jahil dari para pengikut syari’at itu sendiri, sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam bertemunya dua bujur, serta menjadikan sebagian hari raya mereka dengan menggunakan tahun Masehi, sesuai dengan kejadian yang dialami Al-Masih. Begitu juga dengan kaum Shabi’ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin lainnya dalam penggunaan ishtillah (penanggalan). Adapun yang dibawa oleh syari’at kita merupakan hal yang paling baik, apik, jelas tepat dan jauh dari pertentangan”[2]

2. Pembahasan penentuan hari raya dengan menggunakan ru’yah sudah bersifat final, setelah adanya ijma’ selama tiga abad berurut-turut. Sehingga tidak ada jalan untuk berijtihad setelah terjadinya ijma’, sebagaimana yang telah diterangkan dalam ushul syari’ah.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Sebagaimana telah kita ketahui dari agama Islam, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan sesuatu dengan cara melihat hilal, seperti ; puasa, haji, iddah, ila’ atau lainnya, yang menyangkut permasahan hukum dengan hilal, tidaklah dibenarkan. Nash-nash dari Nabi tentang hal ini sangatlah banyak. Dan kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) dengan permasalah tersebut. Sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan lama atau perselisihan baru, kecuali setelah abad ketiga, yakni oleh sebagian mutaakhirin dari kalangan ahli fiqih gadungan yang belum matang[3]. Yaitu dengan pernyataan “Jika hilal terhalangi awan, maka ahli hisab diperbolehkan menggunakan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab (tersebut) menunjukkan ru’yah, maka dia boleh berpuasa. Jika tidak menunjukkan hilal, maka tidak boleh”. Pendapat ini telah didahului oleh ijma yang mengingkarinya, meskipun hanya berlaku untuk cuaca mendung dan dikhususkan untuk orang yang mengetahui ilmu hisab itu sendiri. Akan tetapi, mengikuti hisab ketika cuaca cerah, atau menggantungkan hukum untuk kalangan umum dengan hisab, maka tidak seorang muslimpun pernah mengatakannya”[4]

Ketika Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta Arab Saudi, ditanya tentang hal serupa, mereka menjawab : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui yang telah dan yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan lainnya. Sekalipun begitu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpuasa” [al-Baqarah/2 : 185]

Dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan lebih jelas dengan sabdanya.

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ،

Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya[5]

Maka beliau mengaitkan mulainya puasa bulan Ramadhan dan berakhirnya Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal dan tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang. Sekalipun beliau mengetahui bahwa ilmu falak akan berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalannya.

Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui lisan Nabi-Nya, dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari raya. Dan ini merupakan ijma dari ahli ilmu. Barangsiapa yang menyelisihinya dan menggunakan hisab bintang-bintang, maka pendapatnya aneh dan tidak dapat digunakan” (Tertanda. Ketua : Abdul Aziz bin Baz, Wakil Ketua Abdur Razzaq Afifi. Anggota Abdullah bin Qu’ud)[6]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo. Telp Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat Majmu Fatawa (25/128-130)
[2] Majmu Fatawa (25/135)
[3] Sebagian pendapat ini kepada Ibnu Syuraih, Mutharif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah. Nisbat kepada Ibnu Syuraih dan Abdullah ini tidak benar. Adapun Ibnu Qutaibah, pendapatnya dalam masalah ini tidak perlu ditanggapi. Lihat Nailul Authar (4/502) Dar Ash-Shumai’i, Tharhut Tatsrib, Al-Iraqi (2/2-112).
[4] Majmu Fatawa (25/132-133)
[5] HR Muslim, Kitab Shiyam, Bab Wujub Shaumi Ramadan Li Ru’yatil Hilal, Syarh Muslim (3/134-135)
[6] Fatawa Ramadhan (1/118-19)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2304-menyatukan-hari-raya.html